Sampai saat ini UN kerap menjadi perbincangan menarik yang rutin disetiap akhir tahun pelajaran. Apalagi seiring kemajuan teknologi UN diselenggarakan berbasis IT yang disebut UNBK. Namun dalam kesempatan ini yang dibahas bukan tentang petunjuk teknis melainkan kapasitas UN tersebut sampai saat ini masih diselenggarakan.
Mendengar UN pendidik dan peserta
didik akan merasa “berbeda” apalagi setiap tahunnya berubah yang mengarah ke
UNBK. Kenapa UNBK, tiada lain tiada bukan tentang menjawab pertanyaan mengenai
integritas. UN sebelumnya dengan kertas pensil yang dicurigai intergritasnya
masih tergolong rendah. Kemudian diupayakan agar SMP dan SMA berbasis komputer,
tapi bukan berbasis IT saja namun disertai katagori soal high other thingking (HOT). Tujuannya secara nasional untuk
mengetahui kondisi riil pendidikan ditiap tahunnya.
Tindak lanjut dari tujuan tersebut sudah
jelas bahwa UN yang rutin diselenggarakan bukan untuk kepentingan anak bangsa.
Kepentingan yang dimaksud adalah mempengaruhi kelulusan peserta didik ke
jenjang selanjutnya.
Kenyataanya saat ini, UN sudah tidak memiliki
porsi dalam kelulusan peserta didik kejenjang selanjutnya. UN telah punya
kapasitas tersendiri hanya sebagai indikator mutu pendidikan dengan integritas
tinggi. Sejauh ini entah rata-rata UN meningkat, menurun dan rendah itu juga
seratus persen siswa lulus.
Terus apa indikator kelulusan peserta
didik kalau UN tidak dilibatkan, sudah jelas satuan pendidikan masing-masing
yang memiliki wewenang. Menindak lanjuti
hal tersebut satuan pendidikan harus memiliki kredibilitas yang independen dan
bertanggung jawab penuh dalam segala keputusan. Karena yang paling tahu
kualitas dan kuantitas secara riil tentang peserta didik adalah Bapak/Ibu guru.
Sehingga diupayakan kehadiran UN
tidak mengganggu mental peserta didik dan ketika melaksanakan UN peserta
benar-benar dalam keadaan tenang tanpa ada tekanan. Pelaksanaannya tetap atas dasar
terkondisi, orientasi sengguh-sungguh dan sesuai daya serap yang dimilikinya.
Bila perlu untuk menyikapi cakupan
materi mata pelajaran yang sangat luas diberikan rentang waktu tertentu dari UN
mapel satu dengan mapel yang lainnya. Bisa
juga memberikan pilihan setiap satuan pendidikan terhadap Cakupan Materi
Minimal (CMM) layaknya KKM sebagai tolak ukur mandiri misalnya CMM 50%, 75%,
atau 100%. Karena bila diukur 100% secara nasional sah-sah saja, namun perlu
menjadi pertimbangan apakah satuan pendidikan tersebut sudah standar nasional.
Kalau sudah baru relevan untuk diujikan secara nasional. Mengenai hal tersebut
bisa disesuaikan berdasarkan rapor mutu satuan pendidikan masing-masing.
Hasil riil dilapangan akan selalu
rendah, dan itu dijadikan evaluasi menyeluruh sudah jelas itu keliru. Sebab
dengan situasi kondisi mutu dilapangan kurang dan hasil UN rendah,
sesungguhnya hal tersebut sesuai dan relevan. Tapi jika situasi kondisi telah standar
nasional dan hasil UN rendah, disini baru perlu dipertanyakan. Ibarat alat ukur
tidak sesuai dengan objek yang diukur yang hasilnya pasti keliru.
Lebih baik satuan pendidikan
diberikan kepercayaan secara mandiri dalam memutuskan cakupan materi. Misalnya
dengan memilih 75%, untuk rata-rata berkisaran 65-70. Biarlah yang standar
nasional memilih cakupan materi 100%. Bila perlu secara nasional menentukan
cakupan materi tersebut yang berkaca dari rapor mutu satuan pendidikan. Setelah
itu ada feedback yang disarankan untuk
perbaikan yang terawasi serta dievaluasi hingga meningkat, baru dipertimbangkan
kembali tentang cakupan atau instrumen evaluasinya. Sederhananya jika salah satu satuan
pendidikan yang rapor mutu rendah pada standar pendidik, lembaga pendidikan
nasional bisa lewat daerah harus fokuskan mampu menindaklanjuti hal tersebut
harapannya sampai tuntas. Setelah itu lihat kembali jika meningkat berarti
sesuai. Jika belum juga terjadi peningkatan ada faktor lain yang signifikan
mempengaruhi hasil UN tersebut.
Perlu diketahui bahwa naik, turun,
atau rendahnya rata-rata UN itu hal yang wajar karena hal tersebut dipengaruhi
oleh SDM, baik SDM dilembaga pendidikan, pendidik, ataupun peserta didik. Sedangkan
lembaga pendidikan serta pendidik bisa tetap atau berubah dan alat ukurnya
berupa soal HOT yang tetap sedangkan peserta didik yang pasti “berubah-ubah”. Karena
tidak ada yang menjamin semakin berkembangnya zaman SDM manusia disegi
pengetahuan terus meningkat walaupun lahir dizaman semakin canggih dan serba
digitalisasi. Karena SDM itu tercipta bukan tercetak begitu saja. Selain itu
variabel kontrol dalam pendidikan terhadap peserta didik cenderung tidak jelas
terkecuali satuan pendidikan yang melakukan boarding
school.
Satuan pendidikan tidak pantas malu
ketika rata-rata UN sekolahnya rendah atau menurun. Karena data riil tersebut
sebagai salah satu hasil nyata rapor mutu yang menjadi indikator mutu untuk acuan
perbaikan dan tetap menjadi tanggung jawab bersama, bukan serta merta saling
menyalahkan atau sepenuhnya menjadi beban pendidik saja.
Sesungguhnya dalam pendidikan bukan tentang transfer ilmu, membagi ilmu dan
hasil UN meningkat tapi ada yang dikembangkan pada pribadi peserta didik. Jika
melihat hasil UN sebagai evaluasi keberhasilan pendidikan anda separuh benar,
dan masuk di dalamnya serta mengevaluasi “perkembangan” yang nampak, anda
menemukan benar separuhnya lagi. Karena sekolah bukan tempat penyetaraan melainkan
meningkatkan dari satu, dua, tiga, dan seterusnya disetiap pribadi anak yang
berbeda-beda. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar