Harapan sebuah lembaga
pendidikan adalah menciptakan generasi yang berpengetahuan, terampil, dan berakhlak mulia. Mencetak generasi tersebut tidak cukup
dengan kebijakan, kompetensi pendidik, sarana prasarana, dan lingkungan. Hal
yang terpenting bahkan belum disentuh oleh lembaga pendidikan yakni memaknai
pendidikan. Adakah yang sesungguhnya telah memaknai sebuah pendidikan? Pembuat
kebijakan terus membuat kebijakan, pendidik terus mengajar berdasarkan
kurikulum, sarana prasarana terus dikembangkan, lingkungan masih belum
“terkontrol”. Sehingga dikatakan belum memaknai pendidikan itu sendiri. Ketika
memaknai pendidikan ini ada, maka kemungkinan akan ada perubahan besar. Jika
belum memaknai maka akan selalu adanya saling menyalahkan, baik guru kah,
peserta didik kah,
pemerintah kah, lingkungan kah, kurikulum kah, atau bahkan bisa semuanya.
Pemerintah telah menetapkan
standar kelulusan pendidikan setiap jenjang, tapi sudahkah dimaknai dengan
baik, bagi tokoh-tokoh yang membuat dan penyelenggara pendidik? Untuk isi
lampiran tentang standar kelulusan pendidikan silakan pembaca bisa cek digoogle.
Selanjutnya coba kaitkan dengan pembelajaran langsung di sekolah. Mampukah materi
dalam setiap mata pelajaran dikorelasikan
dengan aspek dari standar kelulusan tersebut. Artinya dari materi-materi yang
dibelajarkan, siswa memiliki kemampuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif. Jangan-jangan pendidik masih asing dengan kata-kata tersebut.
Terus sejauh ini pendidikan masih dimana? Karena dalam pembelajaran peserta
didik dan guru cenderung berorientasi dengan penguasaan materi. Di luar penguasaan
materi perlu diperhatikan bahwa setiap pembelajaran bukan untuk cetak nilai A
setiap mata pelajaran tetapi tentang melatih dan mengimplementasikan berpikir
kritis, kreatif, kolaborasi, dan kemampuan berkomunikasi. Pendidik cenderung
belum mengetahui bagaimana materi A misalnya untuk mencapai aspek standar
kelulusan. Mengetahui hal tersebut bagaimana teknik penilaian selama ini yang
masih berpedoman pada penguasaan materi semata belum memperhatikan aspek
standar kelulusan terhadap peserta didik. Artinya nilai A pada mapel tertentu belum memastikan aspek kelulusan yang dicapainya. Sesungguhnya dengan disajikan materi dalam kurikulum
tersebut mampu mengembangkan aspek dari standar kelulusan. Sehingga kelirunya
dalam pendidikan adalah bukan tentang kompetensi guru, peserta didik, sarana,
melainkan belumnya menerapkan dan memperhatikan standar kelulusan ketika
meluluskan peserta didik kejenjang berikutnya.
Tentang kelulusan pemahaman bahwa
tidak naik kelas/lulus dianggap gagal. Gagal disini sifatnya sangat luas, bisa
pemimpin, sekolah, guru, peserta didik sendiri, atau orang tua. Padahal itu
wajar artinya peserta didik tersebut perlu waktu lebih lama untuk berproses
mencapai standar kelulusan yang telah ditetapkan. Karena lulus yang terbaik itu
adalah lulus pada waktu yang tepat bukan lulus tepat pada waktunya. Mencapai hal
tersebut harus diberikan kredibilitas sepenuhnya dan mutlak serta independen
oleh lembaga satuan pendidikan yaitu Bapak/Ibu guru yang terhormat. Jika itu
belum terjadi maka tidak ada kata standar dalam pendidikan begitu juga
evaluasinya. Sekolah akan berhadapan dengan banyak non-standar termasuk
pendapatan guru honor. Logikanya sekolah sebagai cetakan dan yang datang beranekaragam bahan baku yaitu peserta
didik, terus sekolah dituntut untuk mencetak yang baik, itu akal sehat dari
mana? Siapapun yang telah menyandang profesional dalam profesinya jika
berhadapan dengan non-standar pasti juga tidak akan bisa berbuat banyak.
Fasilitas sudah diberikan dan dana pendidikan sangat tinggi masih belum mampu
meningkatkan pendidikan nasional. Jelas karena pendidikan banyak diluar jalur
dan non-standar. Maka dari itu lembaga pendidikan harus benar-benar memiliki
kredibilitas sehingga jelas berapa siswa standar SD kelas 4 dan berapa siswa
standar SMP kelas 7. Jangan-jangan siswanya kelas 8 SMP tapi standar kelas 4
SD, bagaimana nasib guru SMP. Kalau salahkan guru SD tidak pas juga, salahkan
siswa juga tidak pas, salahkan guru SMP juga tidak pas, terus siapa yang
menerima ini, kembali lagi tentang
standar kelulusan dan memaknai pendidikan.
Guru yang
mengajar dijenjang berikutnya akan banyak berpendapat entah materi terlalu
sulit diserap siswa, dikatakan gurunya kurang persiapan, gurunya kurang media,
gurunya kurang menguasai pedagogik. Semua itu sah-sah saja, hal tersebut benar
adanya apalagi objek didik dalam katagori standar. Kemudian sampai berpandangan bahwa
kurikulum tidak nyambung dengan di lapangan dan banyak hal lagi. Kembali jika
pendidikan tidak dimaknai yang akan terjadi terus seperti ini. Pada akhirnya
yang menjadi korban jelas objek didik. Mereka juga sesungguh berada pada
situasi non-standar bagi yang belum sesuai dengan jenjangnya. Karena belum
memiliki kemampuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif yang
sesuai di kelulusan SD sudah berada di SMP. Dampaknya akan muncul suasana tidak
cocok, bosan, malas, dan bahkan apatis terhadap sekolahnya. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar